Nenek Moyang Jangkrik Adalah Karnivora

Para ilmuwan yang menemukan fosil itu yakin kalau yang mereka termukan
tersebut merupakan nenek moyang jangkrik yang hidup di periode Cretaceous,
sesaat sebelum superbenua Gondwana (superbenua yang mencakup benua Afrika,
Amerika Selatan, Australia, India, Arab, dan Antartika saat ini), terpecah.
Menurut
LiveScience, fosil itu berasal dari genus Schizodactylus atau jangkrik
berkaki miring. Genus Schizodactylus mencakup jangkrik yang ada
saat ini, belalang, serta binatang bernama katydid. Saat berburu spesies
ini sebenarnya tak menggunakan strategi khusus. Serangga bertubuh tambun ini
keluar malam hari menyisir habitat mereka untuk mencari mangsa.
Setidaknya, ia memiliki perbedaan dengan jangkrik yang ada
saat ini. Dengan panjang sekitar 6 cm dari kepala hingga ke bagian belakang
tubuhnya, ia memiliki postur yang agak aneh. Antenanya lebih panjang dari
tubuhnya. Jangkrik ini juga memiliki sayap yang tergulung dan kaki yang tajam
seperti sepatu salju. Namun, jangkrik yang sangat agresif ini tak bisa terbang
walaupun memiliki sayap. Sayapnya biasanya hanya bisa dimekarkan saat
diperlukan. Secara umum jangkrik ini tidak begitu banyak mengalami evolusi atau
mengalami periode ‘evolutionary stasis’ selama paling tidak 100 juta tahun.
Kesalah Pahaman Nenek Moyang Buaya
Wajah bisa menipu. Ungkapan ini mungkin cocok
disematkan pada dinosaurus asal Inggris, Baryonyx walkeri. Bukan apa-apa,
meskipun memiliki wajah pemangsa daging, dinosaurus satu ini ternyata pemakan
ikan.
Teori
ini muncul ketika para ilmuwan selesai meneliti fosil kerangka kepala Baryonyx.
Ternyata hewan ini memiliki bentuk kerangka kepala yang nyaris sama dengan
milik buaya pemakan ikan yang hidup saat ini. Meskipun begitu, keduanya
memiliki perbedaan struktur. Baryonyx bermoncong sempit, sedangkan buaya
pemakan ikan memiliki moncong datar.
Meskipun
berbeda struktur, Dr Emily Rayfield dari Universitas Bristol, Inggris,
mengatakan kalau tulang tengkorak kedua hewan memiliki fungsi sama.“Baryonyx
dan buaya pemakan ikan sama-sama memiliki rahang yang panjang dengan bentuk
gigi mengerucut. Itu membuktikan kalau sumber makanan keduanya sama, yaitu
ikan,” tambah Rayfield.
Baryonyx diyakini pernah hidup di daerah hangat dengan banyak
rawa-rawa, dan diduga sebagai nenek moyang buaya pemakan ikan. Namun, Dr Angela
Milner dari Museum Natural History, London,
menyatakan kalau tengkorak kepala kedua hewan ini berevolusi dengan cara
berbeda. “Terlalu dini untuk mengatakan bahwa hewan ini nenek moyang buaya
pemakan ikan. Evolusi struktur tengkorak yang berbeda adalah pertimbangan
khusus,” ujar Milner.
Nenek Moyang Gurita Yang Tidak disangka - sangka
Mayoritas gurita laut dalam berasal dari nenek moyang yang
masih eksis di perairan es di laut selatan, demikian menurut studi terbaru.
Mengapa nenek moyangnya masih eksis? tak lain adalah kandungan gizi dan garam
yang sangat kaya di kedalaman laut sejak 30 juta tahun silam.
Temuan ini merupakan bagian dari sensus biota laut alias
Census of Marine Life (CoML) yang berlangsung sejak tahun 2000 dan akan selesai
pada 2010, melibatkan 2000 ilmuwan dari 82 negara, termasuk Indonesia. "Banyak
gurita yang kami analisa dari kedalaman laut yang ternyata memiliki kesamaan
DNA," jelas Don O'Dor, ilmuwan senior yang terlibat di proyek ini.
Adalah Dr Jan Strugnell, pakar biologi British Antarctic
Survey (BAS) yang melihat hubungan antar spesies dan dari mana mereka berasal.
Pelacakan tersebut berawal dari spesies gurita Megaleledone setebos yang hanya
ada di laut selatan. Nyaris semua gurita dari seantero laut dunia berhubungan
dengan spesies tersebut. Jadi bisa dikatakan, spesies ini adalah nenek moyang
semua gurita.
Nenek moyang ini bisa tetap eksis walau sudah berlangsung
selama 30 juta tahun sebab air tawar membentuk kristal es dan kandungan oksigen
air yang tinggi, sehingga spesies tersebut tenggelam di kedalaman laut yang
terdalam.
Temuan ini akan dipresentasikan di World Conference on Marine Biology, di
Valencia, Spanyol, awal pekan ini.
Nenek Moyang Ayam Yang Misterius
Hasil penelitian DNA molekuler menemukan bahwa ayam
domestikasi berasal dari satu moyang (monophyletic), yaitu spesies ayam hutan
merah (Gallus gallus).
Hasil analisis ini juga menunjukkan bahwa Indonesia adalah salah satu dari tiga wilayah yang dinyatakan sebagai pusat domestikasi ayam pertama kali di dunia selain di Cina dan India.
Hasil analisis ini juga menunjukkan bahwa Indonesia adalah salah satu dari tiga wilayah yang dinyatakan sebagai pusat domestikasi ayam pertama kali di dunia selain di Cina dan India.
Melalui analisis DNA semua rumpun ayam di dunia telah dibuat
pohon pilogeninya dan mengelompokkan rumpun ayam di dunia menjadi tujuh clade,
terdiri dari clade I, II, IIIa, IIIb, IIIc,IIId, IV. Ayam termasuk kelas aves,
ordo galliformes, famili phasianidae dan genus Gallus.
Ayam yang selama ini telah dipelihara secara luas termasuk
dalam spesies Gallus gallus yang telah didomestikasi dan dinamakan Gallus
gallus domesticus. Spesies lain yang masih hidup liar di hutan dari genus
Gallus gallus termasuk dalam Red jungle fowl yang sebarannya meliputi China, India, dan Asia Tenggara.
Sementara itu, Gallus varius (Green jungle fowl)
distribusinya meliputi Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, dan pulau kecil
disekitarnya, Gallus lafayettii (Sri Lanka Jungle fowl) distribusinya hanya di
Sri Lanka, sedangkan Gallus sonneratii (Grey jungle fowl) distribusinya
meliputi India bagian selatan dan barat.
Perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang genetika molekuler
telah membuka cakrawala baru dan banyak digunakan sebagai alat analisis
taksonomi yang akurat. Para taksonom pada abad
ini telah banyak menggunakan aplikasi teknologi DNA untuk membedakan berbagai
spesies hewan serta hubungan kekeluargaan dari suatu spesies dengan spesies
lainnya.
Dari analisis ini antara ayam domestikasi dengan ayam hutan
merah (Gallus gallus) terlihat hubungan kekerabatan lebih jelas, yaitu ayam
hutan merah berada di lingkaran besar ayam domestikasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar