Selasa, 26 April 2011

Evolusi yang tidak terduga



Nenek Moyang Jangkrik Adalah Karnivora


Era dinosaurus mungkin dapat dianggap era yang mengerikan bagi manusia. Pasalnya, jangkrik yang pada masa kini hanya memakan dedaunan, pada zaman itu ternyata termasuk hewan karnivora alias pemakan daging. Fakta ini terungkap setelah sebuah fosil serangga mirip jangkrik dari zaman itu ditemukan di lapisan kapur yang terletak di wilayah utara Brazil belum lama ini. Serangga yang telah menjadi fosil tersebut diperkirakan hidup sekitar 100 juta tahun lalu.


Para ilmuwan yang menemukan fosil itu yakin kalau yang mereka termukan tersebut merupakan nenek moyang jangkrik yang hidup di periode Cretaceous, sesaat sebelum superbenua Gondwana (superbenua yang mencakup benua Afrika, Amerika Selatan, Australia, India, Arab, dan Antartika saat ini), terpecah.
Menurut LiveScience, fosil itu berasal dari genus Schizodactylus atau jangkrik berkaki miring. Genus Schizodactylus mencakup jangkrik yang ada saat ini, belalang, serta binatang bernama katydid. Saat berburu spesies ini sebenarnya tak menggunakan strategi khusus. Serangga bertubuh tambun ini keluar malam hari menyisir habitat mereka untuk mencari mangsa.
Setidaknya, ia memiliki perbedaan dengan jangkrik yang ada saat ini. Dengan panjang sekitar 6 cm dari kepala hingga ke bagian belakang tubuhnya, ia memiliki postur yang agak aneh. Antenanya lebih panjang dari tubuhnya. Jangkrik ini juga memiliki sayap yang tergulung dan kaki yang tajam seperti sepatu salju. Namun, jangkrik yang sangat agresif ini tak bisa terbang walaupun memiliki sayap. Sayapnya biasanya hanya bisa dimekarkan saat diperlukan. Secara umum jangkrik ini tidak begitu banyak mengalami evolusi atau mengalami periode ‘evolutionary stasis’ selama paling tidak 100 juta tahun. 
 
 Kesalah Pahaman Nenek Moyang Buaya
 
Wajah bisa menipu. Ungkapan ini mungkin cocok disematkan pada dinosaurus asal Inggris, Baryonyx walkeri. Bukan apa-apa, meskipun memiliki wajah pemangsa daging, dinosaurus satu ini ternyata pemakan ikan.
            Teori ini muncul ketika para ilmuwan selesai meneliti fosil kerangka kepala Baryonyx. Ternyata hewan ini memiliki bentuk kerangka kepala yang nyaris sama dengan milik buaya pemakan ikan yang hidup saat ini. Meskipun begitu, keduanya memiliki perbedaan struktur. Baryonyx bermoncong sempit, sedangkan buaya pemakan ikan memiliki moncong datar.
            Meskipun berbeda struktur, Dr Emily Rayfield dari Universitas Bristol, Inggris, mengatakan kalau tulang tengkorak kedua hewan memiliki fungsi sama.“Baryonyx dan buaya pemakan ikan sama-sama memiliki rahang yang panjang dengan bentuk gigi mengerucut. Itu membuktikan kalau sumber makanan keduanya sama, yaitu ikan,” tambah Rayfield.
Baryonyx diyakini pernah hidup di daerah hangat dengan banyak rawa-rawa, dan diduga sebagai nenek moyang buaya pemakan ikan. Namun, Dr Angela Milner dari Museum Natural History, London, menyatakan kalau tengkorak kepala kedua hewan ini berevolusi dengan cara berbeda. “Terlalu dini untuk mengatakan bahwa hewan ini nenek moyang buaya pemakan ikan. Evolusi struktur tengkorak yang berbeda adalah pertimbangan khusus,” ujar Milner.

Nenek Moyang Gurita Yang Tidak disangka - sangka

Mayoritas gurita laut dalam berasal dari nenek moyang yang masih eksis di perairan es di laut selatan, demikian menurut studi terbaru. Mengapa nenek moyangnya masih eksis? tak lain adalah kandungan gizi dan garam yang sangat kaya di kedalaman laut sejak 30 juta tahun silam.
Temuan ini merupakan bagian dari sensus biota laut alias Census of Marine Life (CoML) yang berlangsung sejak tahun 2000 dan akan selesai pada 2010, melibatkan 2000 ilmuwan dari 82 negara, termasuk Indonesia. "Banyak gurita yang kami analisa dari kedalaman laut yang ternyata memiliki kesamaan DNA," jelas Don O'Dor, ilmuwan senior yang terlibat di proyek ini.
Adalah Dr Jan Strugnell, pakar biologi British Antarctic Survey (BAS) yang melihat hubungan antar spesies dan dari mana mereka berasal. Pelacakan tersebut berawal dari spesies gurita Megaleledone setebos yang hanya ada di laut selatan. Nyaris semua gurita dari seantero laut dunia berhubungan dengan spesies tersebut. Jadi bisa dikatakan, spesies ini adalah nenek moyang semua gurita.
Nenek moyang ini bisa tetap eksis walau sudah berlangsung selama 30 juta tahun sebab air tawar membentuk kristal es dan kandungan oksigen air yang tinggi, sehingga spesies tersebut tenggelam di kedalaman laut yang terdalam. Temuan ini akan dipresentasikan di World Conference on Marine Biology, di Valencia, Spanyol, awal pekan ini.

 Nenek Moyang Ayam Yang Misterius

Hasil penelitian DNA molekuler menemukan bahwa ayam domestikasi berasal dari satu moyang (monophyletic), yaitu spesies ayam hutan merah (Gallus gallus).
Hasil analisis ini juga menunjukkan bahwa Indonesia adalah salah satu dari tiga wilayah yang dinyatakan sebagai pusat domestikasi ayam pertama kali di dunia selain di Cina dan India.
Melalui analisis DNA semua rumpun ayam di dunia telah dibuat pohon pilogeninya dan mengelompokkan rumpun ayam di dunia menjadi tujuh clade, terdiri dari clade I, II, IIIa, IIIb, IIIc,IIId, IV. Ayam termasuk kelas aves, ordo galliformes, famili phasianidae dan genus Gallus.
Ayam yang selama ini telah dipelihara secara luas termasuk dalam spesies Gallus gallus yang telah didomestikasi dan dinamakan Gallus gallus domesticus. Spesies lain yang masih hidup liar di hutan dari genus Gallus gallus termasuk dalam Red jungle fowl yang sebarannya meliputi China, India, dan Asia Tenggara.
Sementara itu, Gallus varius (Green jungle fowl) distribusinya meliputi Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, dan pulau kecil disekitarnya, Gallus lafayettii (Sri Lanka Jungle fowl) distribusinya hanya di Sri Lanka, sedangkan Gallus sonneratii (Grey jungle fowl) distribusinya meliputi India bagian selatan dan barat.
Perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang genetika molekuler telah membuka cakrawala baru dan banyak digunakan sebagai alat analisis taksonomi yang akurat. Para taksonom pada abad ini telah banyak menggunakan aplikasi teknologi DNA untuk membedakan berbagai spesies hewan serta hubungan kekeluargaan dari suatu spesies dengan spesies lainnya.
Dari analisis ini antara ayam domestikasi dengan ayam hutan merah (Gallus gallus) terlihat hubungan kekerabatan lebih jelas, yaitu ayam hutan merah berada di lingkaran besar ayam domestikasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar